Antibodi Monoklonal
I.1 Sejarah
Antibodi Monoklonal
Pada tahun 1908,
Metchnikoff dan Erlich mengemukakan mengenai teori imunologi yang membawa
perubahan besar pada pemanfaatan antibodi untuk mendeteksi adanya antigen (zat
asing) di dalam tubuh. Sebelum ditemukannya teknologi antibodi monoklonal,
antibodi dahulunya diperoleh dengan cara konvensional yakni mengimunisasi hewan
percobaan, mengambil darahnya dan mengisolasi antibodi dalam serum sehingga
menghasilkan antibodi poliklonal. Apabila dibutuhkan antibodi dalam jumlah
besar maka binatang percobaan yang dibutuhkan juga sangat besar jumlahnya.
Selain itu bila diproduksi dalam jumlah besar antibodi poliklonal jumlah
antibodi spesifik yang diproduksi juga sangat sedikit, sangat heterogen dan
sangat sulit menghilangkan antibodi lain yang tidak diinginkan (Radji M. 2010),
Maka dari itu dilakukan serangkaian penelitian untuk membuat antibodi spesifik
secara in vitro, sehingga dapat
diproduksi antibodi spesifik dalam jumlah besar, dan tidak terkontaminasi
dengan antibodi lainnya.
Tahun 1975, Georges Köhler,
César
Milstein, and Niels Kaj Jerne menemukan cara baru dalam membuat antibodi dengan
mengimunisasi hewan percobaan, kemudian sel limfositnya difusikan dengan sel
mieloma, sehingga sel hibrid dapat dibiakkan terus menerus. Sel mieloma adalah
sel limfosit B yang abnormal yang mampu bereplikasi terus-menerus dan
menghasilkan sebuah antibodi spesifik berupa paraprotein, sel mieloma disebut juga dengan sel B kanker. Mereka juga mampu membuat antibodi yang homogen yang diproduksi
oleh satu klon sel hibrid. Antibodi tersebut lebih spesifik dibandingkan dengan
antibodi poliklonal karena dapat mengikat 1 epitop antigen dan dapat dibuat
dalam jumlah yang tak terbatas. Definisi epitop sendiri adalah daerah spesifik
pada antigen yang dapat dikenali oleh antibodi (Riechmann, 1992). Antibodi yang
homogen dan spesifik ini disebut antibodi monoklonal. Berkat temuan antibodi
monoklonal Georges Köhler,
César
Milstein, and Niels Kaj Jerne mendapatkan hadiah nobel di bidang fisiologi dan
kedokteran pada tahun 1985.
Antibodi monoklonal dibuat dengan cara penggabungan
atau fusi dua jenis sel yaitu limfosit B yang memproduksi antibodi dengan sel
kanker (sel mieloma) yang dapat hidup dan membelah terus menerus. Hasil fusi
antara sel limfosit B dengan sel kanker secara in vitro ini disebut dengan hibridoma.
Apabila sel hibridoma dibiakkan dalam kultur sel, sel yang secara genetik
mempunyai sifat identik akan memproduksi antibodi sesuai dengan antibodi yang
diproduksi oleh sel aslinya yaitu sel limfosit B. Hal yang penting untuk
diperhatikan adalah proses pemilihan sel klon yang identik yang dapat mensekresi
antibodi yang spesifik. Karena antibodi yang diproduksi berasal dari sel
hibridoma tunggal (mono-klon), maka antibodi yang diproduksi disebut dengan
antibodi monoklonal.
Sel hibridoma mempunyai kemampuan untuk tumbuh
secara tidak terbatas dalam kultur sel, sehingga mampu memproduksi antibodi
homogen yang spesifik (monoklonal) dalam jumlah yang hampir tak terbatas.
Antibodi monoklonal merupakan senyawa yang homogen, sangat spesifik dan dapat
diperoleh dalam jumlah yang besar sehingga sangat menguntungkan jika digunakan
sebagai alat diagnostik. Beberapa jenis kit antibodi monoklonal telah tersedia
di pasaran untuk mendeteksi bakteri patogen dan virus, serta untuk uji
kehamilan.
I.2 Antibodi
Monoklonal
Antibodi dibentuk oleh sel darah putih yang disebut
limfosit B. Limfosit B akan mengeluarkan antibodi yang kemudian diletakkan pada
permukaannya. Setiap antibodi yang berbeda akan mengenali dan mengikat hanya
satu antigen spesifik. Antigen merupakan suatu protein yang terdapat pada
permukaan bakteri, virus dan sel kanker. Pengikatan antigen akan memicu
multiplikasi sel B dan penglepasan antibodi. Ikatan antigen antibodi
mengaktivasi sistem respons imun yang akan menetralkan dan mengeliminasinya. Mekanisme
kerja antibodi dalam tubuh dimulai dengan diikatnya epitope (bagian antigen)
oleh antibodi. Ikatan ini akan membentuk kompleks antigen-antibodi yang
berukuran besar dan akhirnya mengendap. Kompleks antigen-antibodi ini juga
dapat dikenali oleh sel makrofag, yang akan mendegradasi kompleks ini. Antibodi
monoklonal adalah antibodi monospesifik yang dapat mengikat satu epitop saja,
yang merupakan zat yang diproduksi oleh sel gabungan tipe tunggal yang memiliki
kekhususan tambahan. Epitop adalah area tertentu pada molekul antigenik, yang
mengikat antibodi atau pencerap sel B maupun sel T, umumnya molekul berukuran
besar, seperti protein dan polisakarida dapat menunjukkan sifat antigen.
Antibodi monoklonal mempunyai sifat khusus yang unik yaitu dapat mengenal suatu
molekul, memberikan informasi tentang molekul spesifik dan sebagai terapi
target tanpa merusak sel sehat sekitarnya. Antibodi monoklonal murni dapat
diproduksi dalam jumlah besar dan bebas kontaminasi. Antibodi monoklonal dapat
diperoleh dari sel yang dikembangkan di laboratorium, reagen tersebut sangat
berguna untuk penelitian terapi dan diagnostik laboratorium.
Antibodi monoklonal dapat diciptakan untuk mengikat
antigen tertentu kemudian dapat mendeteksi atau memurnikannya. Manusia dan
tikus mempunyai kemampuan untuk membentuk antibodi yang dapat mengenali antigen.
Antibodi monoklonal tidak hanya mempertahankan tubuh untuk melawan organisme
penyakit tetapi juga dapat menarik molekul target lainnya di dalam tubuh
seperti reseptor protein yang ada pada permukaan sel normal atau molekul yang
khas terdapat pada permukaan sel kanker. Spesifisiti antibodi yang luar biasa
menjadikan zat ini dapat digunakan sebagai terapi. Antibodi monoklonal ini
dapat dihasilkan dengan teknik hibridoma. Teknik Hibridoma adalah penggabungan
dua sel dari organisme yang sama maupun berbeda sehingga menghasilkan sel
tunggal berupa sel hibrid (hibridoma) yang memiliki kombinasi dari sifat kedua
sel tersebut. Teknik hibridoma ini sangat penting untuk menghasilkan antibodi
dan hormon dalam jumlah yang besar.
I.3 Kegunaan
Antibodi Monoklonal
Kegunaan
antibodi monoklonal cukup beragam. Para ilmuwan berharap dapat menggunakan
antibodi monoklonal dalam pengobatan kanker. Beberapa jenis sel kanker membuat
antigen yang berbeda dengan protein yang dibuat oleh sel-sel sehat. Dengan
teknologi yang ada, dapat dibuat antibodi monoklonal yang hanya menyerang
protein dan menyerang sel-sel tanpa mempengaruhi sel-sel yang sehat. Kegunaan
antibodi monoklonal yang lainnya yaitu:
1. Untuk
mendeteksi kandungan hormon korionik gonadotropin ( HCG ) dalam urin wanita hamil.
2. Untuk
mengikat racun dan menonaktifkannya, contohnya racun tetanus dan kelebihan obat
digoxin dapat dinonaktifkan oleh antibodi ini.
3. Mencegah
penolakan jaringan terhadap sel hasil transplantasi jaringan lain.
4. Antibodi
monoklonal sekarang telah digunakan untuk banyak masalah diagnostik seperti
mengidentifikasi agen infeksi, mengidentifikasi tumor, antigen dan antibodi
auto, mengukur protein dan level obat pada serum, mengenali darah dan jaringan,
mengidentifikasi sel spesifik yang terlibat dalam respon kekebalan dan
mengidentifikasi serta mengkuantifikasi hormon.
I.4 Teknologi
Antibodi Monoklonal
Teknologi antibodi monoklonal yaitu teknologi
menggunakan sel-sel sistem imunitas yang membuat protein yang disebut antibodi.
Sistem kekebalan kita tersusun dari sejumlah tipe sel yang bekerja sama untuk
melokalisir dan menghancurkan substansi yang dapat memasuki tubuh kita. Tiap
tipe sel mempunyai tugas khusus. Beberapa dari sel tersebut dapat membedakan
dari sel tubuh sendiri (self) dan sel-sel asing (non self). Salah satu dari sel
tersebut adalah sel limfosit B yang mampu menanggapi masuknya substansi asing
denngan spesivitas yang luar biasa.
Selain
kegunaannya untuk mendiagnosis penyakit pada manusia, Teknologi antibodi
monoklonal juga banyak dipakai untuk mendeteksi penyakit-penyakit pada tanaman
dan hewan, kontaminasi pangan dan polutan lingkungan.
Langkah pembuatan teknologi
antibodi monoklonal:
1. Langkah
pertama adalah dengan menginjeksikan antigen ke dalam tubuh tikus/kelinci
percobaan, kemudian limfanya dipisahkan dimana limfa tersebut akan menghasilkan
sel limfosit B.
·
Antigen berupa protein atau polisakarida
yang berasal dari bakteri atau virus, disuntikkan secara subkutan pada beberapa
tempat atau secara intra peritoneal.
·
Setelah 23 minggu disusul suntikan antigen
secara intravena, mencit yang tanggap kebal terbaik dipilih.
·
Pada hari ke-12 hari suntikan terakhir
antibodi yang terbentuk pada mencit diperiksa dan diukur titer antibodinya.
·
Mencit dimatikan dan limfanya diambil
secara aseptis.
·
Kemudian dibuat suspensi sel limfa untuk
memisahkan sel B yang mengandung antibodi.
Cara
imunisasi lain yang sering digunakan adalah imunisasi sekali suntik intralimfa
(single-shot intrasplenic immunization). Imunisasi cara ini dianggap lebih
baik, karena eliminasi antigen oleh tubuh dapat dicegah.
2. Sel-sel
pembentuk antibodi pada limpa dilebur (fusi) dengan sel-sel mieloma (sel kanker).
Pada kondisi biakan jaringan biasa, sel limfa yang membuat antibodi akan cepat
mati, sedangkan sel mieloma dapat dibiakkan terus-menerus. Fusi sel dapat
menciptakan sel hibrid yang terdiri dari gabungan sel limfa yang dapat membuat
antibodi dan sel mieloma yang dapat dibiakkan secara terus menerus dalam jumlah
yang tidak terbatas secara in vitro. Fusi sel diawali dengan fusi membran
plasma sehingga menghasilkan sel besar dengan dua atau lebih inti sel, yang
berasal dari kedua induk sel yang berbeda jenis yang disebut heterokarion. Pada
waktu tumbuh dan membelah diri terbentuk satu inti yang mengandung kromosom
kedua induk yang disebut sel hibrid. Sekitar 1% dari sel limpa adalah sel
plasma yang menghasilkan antibodi, sedangkan 10% sel hibridoma akhir terdiri
dari sel-sel yang menghasilkan antibody
3. Setiap
hibridoma hanya dapat menghasilkan satu antibodi.
4. Teknik
seleksi kemudian dikembangkan untuk mendidentifikasi sel tersebut, kemudian
dilakukan pengembangan atau pengklonan berikutnya.
·
Sel hibrid dikembangbiakkan sedemikian
rupa, sehingga tiap sel hibrid akan membentuk koloni homogen yang disebut
hibridoma.
·
Tiap koloni kemudian dibiakkan terpisah
satu sama lain.
·
Hibridoma yang tumbuh diharapkan
mensekresi antibodi ke dalam medium, sehingga antibodi yang terbentuk bisa
diisolasi.
Pemilihan
klon hibridoma dilakukan dua kali, pertama adalah dilakukan untuk memperoleh
hibridoma yang dapat menghasilkan antibodi, dan yang kedua adalah memilih sel
hibridoma penghasil antibodi monoklonal yang potensial menghasilkan antibodi
monoklonal yang tinggi dan stabil.
5. Klona
yang diperoleh dari hibridoma berupa antibodi monoklonal. Antibodi monoklonal
dapat disimpan beku, kemudian dapat diinjeksikan ke dalam tubuh hewan atau
dibiakkan dalam suatu kultur untuk menghasilkan antibodi dalam jumlah yang
besar.
I.5
Cara Kerja Antibodi Monoklonal
Tidak seperti kemoterapi dan radioterapi, yang
bekerja secara kurang spesifik, tujuan pengobatan antibodi monoklonal adalah
untuk menghancurkan sel-sel limfoma non Hodgkin (kanker yang tumbuh pada sistem
limfatik tubuh) secara khusus dan tidak mengganggu jenis-jenis sel lainnya. Semua
sel memiliki penanda protein pada permukaannya, yang dikenal sebagai antigen. Antibodi
monoklonal dirancang di laboratorium untuk secara spesifik mengenali penanda
protein tertentu di permukaan sel kanker. Antibodi monoklonal kemudian
berikatan dengan protein ini. Hal ini memicu sel untuk menghancurkan diri
sendiri atau memberi tanda pada siinduk kekebalan tubuh untuk menyerang dan
membunuh sel kanker. Sebagai contoh, rituximab, antibodi monoklonal yang
dipakai dalam pengobatan limfoma non Hodgkin, mengenali penanda protein CD20.
CD20 ditemukan di permukaan Sel B abnormal yang ditemukan pada jenis-jenis
limfoma non Hodgkin yang paling umum.
I.6
Cara Antibodi Monoklonal untuk Mengatasi Sel
Kanker
Antibodi alami dalam tubuh manusia tidak dapat
menyerang sel kanker karena tidak dapat mengenali sel-sel tersebut sebagai
protein asing (antigen). Sehingga, fungsi utama antibodi monoklonal adalah
untuk mengenali molekul khas yang terdapat pada permukaan sel kanker. Setelah
mengenali sel abnormal tersebut, antibodi monoklonal akan mengikat sel kanker.
Untuk penjelasan lebih lanjut mengenai cara kerja antibodi monoklonal, berikut
ini adalah beberapa cara yang dapat dilakukan antibodi monoklonal untuk mengatasi
sel kanker.
1. Antibody
dependent cellular cytotoxicity (ADCC)
Antibody dependent cellular
cytotoxicity (ADCC) adalah cara yang dilakukan antibodi monoklonal untuk
membuat sel-sel kanker terlihat bagi sel fagosit, sebagai natural killer di
tubuh manusia. Ikatan antibodi monoklonal dengan antigen permukaan sel tumor
memicu penglepasan perforin dan granzymes yang dapat menghancurkan sel tumor.
Sel - sel yang hancur ditangkap Antigen Presenting Cell (APC) lalu
dipresentasikan pada sel B limfosit (sebagai penghasil antibodi alami di dalam
tubuh) sehingga memicu pelepasan antibodi kemudian antibodi ini akan berikatan
dengan target antigen. Pelepasan antibodi oleh sel B limfosit memicu sel T
limfosit untuk mengenali dan membunuh sel target.
2. Complement
dependent cytotoxicity (CDC)
Pengikatan antibodi monoklonal
dengan antigen memicu protein lain untuk mengawali pelepasan proteolitik dari
sel efektor kemotaktik yang dapat menyebabkan terbentuknya lubang pada membran
sel-sel kanker. Lubang ini membuat air dan ion natrium dapat keluar dan masuk
sel kanker tanpa terkendali sehingga sel tersebut akan mengalami lisis atau
pecah.
3. Perubahan
Transduksi Signal
Pada setiap sel tubuh, terdapat
reseptor growth factor yang merupakan target sel tumor untuk menginduksi
sel-sel sehat tersebut agar mengalami aktivitas metabolisme yang berlebihan dan
terjadi pembelahan sel secara cepat sehingga timbul kanker. Transduksi sinyal
dari sel kanker ini akan terus meluas sehingga pada suatu fase, jika tingkat
keganasannya meningkat, pengobatan dengan kemoterapi tidak dapat mengendalikan
atau menekan pertumbuhan sel ganas tersebut. Antibodi monoklonal sangat
potensial untuk menormalkan laju perkembangan sel dan membuat sel sensitif
terhadap zat sitotoksik (dari kemoterapi) dengan menghilangkan signal reseptor
ini. Hasilnya, perkembangan sel kanker dapat terhenti dan obat yang diberikan
melalui kemoterapi dapat menghancurkan sel-sel kanker tersebut.
4. Antibodi
Directed Enzyme Prodrug Therapy (ADEPT)
Antibodi Directed Enzyme Prodrug
Therapy (ADEPT) adalah cara penggunaan antibodi monoklonal sebagai penghantar
enzim dan obat-obatan untuk sampai ke sel kanker. Enzim yang dibawa oleh
antibodi monoklonal akan mengaktifkan obat-obatan sehingga dapat meningkatkan
kerja obat untuk membunuh sel-sel kanker. Selain obat-obatan, antibodi
monoklonal juga dapat digabungkan dengan partikel radioaktif untuk dikirimkan
langsung pada sel kanker.
I.7
Jenis-Jenis Antibodi Monoklonal
1. Antibodi
Monoklonal Murni
Antibodi
Monoklonal Murni adalah antibodi yang penggunaanya tanpa dikombinasikan dengan
obat lain atau material radioaktif. Antibodi ini akan mengikatkan pada antigen
spesifik yang dimiliki sel-sel kanker dengan berbagai cara. Contoh :
trastuzumab, tuximab, dan alemtuzumab.
|
Trastuzumab merupakan antibodi
monoklonal yang menghambat reseptor HER2 (Human Epidermal growth factor
Receptor pada kanker payudara. Reseptor HER2 mampu untuk membentuk heterodimer.
Bentuk heterodimer tersebut merupakan hasil dari kombinasi antara reseptor HER2
dengan berbagai reseptor lain dalam family HER, sehingga membentuk kompleks
reseptor heterodimer. (Brennan PJ et al.,2000). Trastuzumab dikembangkan oleh
perusahaan biotek Genentech dan memperoleh persetujuan FDA pada bulan September
1998. Obat ini pertama kali ditemukan oleh para ilmuwan termasuk Dr Axel
Ullrich dan Dr H. Michael Shepard. Di UCLA Jonsson Comprehensive Cancer Center.
Kerja Trastuzumab meliputi 3 hal, yaitu menghambat transmisi sinyal growth
factor menuju nukleus, keberadaan Trastuzumab menginduksi sel imun untuk segera
melakukan apoptosis pada sel kanker, dan memaksimalkan pengobatan secara
kemoterapi (Nahtaet al.,2003). Trastuzumab dapat berikatan dengan HER2 protein
pada bagian ekstraseluler yang mengakibatkan HER2 protein menjadi inaktif
sehingga pertumbuhan tidak terkontrol dari sel payudara terhenti. Trastuzumab
bekerja dengan cara mengurangi sinyal yang dimediasi HER2 melalui PI3K
(phosphatidylinositol 3-kinase) dan MAPK (mitogen-activated protein kinase)
(Kute et al., 2004). Trastuzumab juga memiliki kemampuan untuk menginduksi
respon imun melalui mekanisme antibody-dependent cellular cytotoxicity (ADCC).
Mekanisme ini dapat menyebabkan peristiwa apoptosis sel kanker. Keunggulan
mekanisme seperti inilah yang diharapkan terjadi, karena selama ini obat kanker
yang ada, menstimulasi apoptosis tidak hanya pada sel yang terkena kanker namun
juga sel normal. (Clynes et al., 2000).
2. Antibodi
Monoklonal Kombinasi
Jenis antibodi ini dikombinasikan
dengan berbagai jenis obat, toksin dan materi-materi radioaktif. Obat ini hanya
berperan sebagai “pengantar” molekul obat langsung menuju sel kanker. Pada
2002, FDA menyetujui radiolabeled untuk
terapi kanker yakni Ibritumomab tiuxetan (Zevalin). Obat ini digunakan untuk
terapi kanker B lymphocytes.
I.8
Antibodi Monoklonal Generasi Baru
Beberapa antibodi monoklonal yang digunakan untuk
pengobatan berasal dari sel mencit/tikus
sehingga sering menimbulkan reaksi alergi pada pasien yang menerima terpai
antibody monoclonal tersebut. Untuk mengatasi masalah tersebut, maka para
peneliti melakukan pengembangan antibody monoclonal yang memiliki sedikit efek
penolakan dari system imun pasien. Pengembangan tersebut menciptakan
antibodimonoklonal generasi baru, antara lain:
1. Chimeric
Monoclonal Antibodies
Antibodi chimeric mengambil nama mereka dari Chimera, sebuah
binatang mistis dengan kepala singa, tubuh seekor kambing dan ekor naga. Rituxan atau Rituximab adalah jenis
tertentu obat yang dikenal sebagai antibodi monoklonal chimeric. Rituxan
merupakan hibrida dari antibodi dari dua sumber, yaitu manusia dan tikus.
Antigen CD20 disuntikkan ke tikus, mendorong produksi antibodi. Antibodi sel
kemudian diisolasi dari limpa hewan kemudian digabungkan dengan sel myeloma.
Hal ini menghasilkan baris sel yang akan terus memproduksi
antibodi tanpa batas. Rekayasa genetika lebih lanjut menghilangkan unsur-unsur
sel tikus yang biasanya akan menghasilkan reaksi (alergi) kekebalan jika
disuntikkan ke manusia. Terapi antibodi monoklonal basis awal untuk kanker
terganggu dengan sejumlah masalah. Pada eksperimen awal, terdapat reaksi alergi
dari bagian asing antibodi eksperimental dari tikus, yang disebut HAMA (human anti-mouse antibody) yang
membatasi kegunaan dan mencegah digunakan lebih dari sekali. Para pengembang
Rituxan mengatasi masalah ini dengan menghapus bagian antigen dari bagian tikus
tersebut dengan antibodi chimeric.
2.
Humanized Monoclonal Antibodies
Humanized
antibodies adalah antibodi
dari spesies non-manusia yang sekuens proteinnya telah dimodifikasi
untuk meningkatkan kesamaan mereka pada varian antibodi yang dihasilkan secara
alami pada manusia. Proses "humanisasi" biasanya diterapkan untuk antibodi monoklonal yang dikembangkan
untuk manusia (misalnya, antibodi yang dikembangkan sebagai obat anti-kanker).
Humanisasi ini diperlukan pada saat proses pengembangan antibodi spesifik yang
melibatkan makhluk hidup lain dalam
sistem kekebalan tubuh manusia , seperti pada tikus. Urutan protein antibodi yang diproduksi
dengan cara ini adalah sedikit berbeda dari homolog antibodi yang terjadi
secara alami pada manusia, oleh karenanya berpotensi imunogenik jika diberikan kepada pasien manusia.
Tidak semua antibodi monoklonal dirancang untuk administrasi manusia perlu
dilakuakn proses humanized karena banyak yang merupakan terapi intervensi
jangka pendek.
Menurut The International
Nonproprietary nama akhir antibodi yang telah
dimanusiawikan berakhiran -mab, seperti
di omalizumab.
Proses ini mempunyai keuntungan yang
dapat dibuktikan dari fakta bahwa produksi antibodi monoklonal dapat dicapai
dengan menggunakan DNA rekombinan untuk membuat konstruksi yang mampu berekspresi pada kultur
sel mamalia. Artinya, segmen gen yang mampu memproduksi antibodi diisolasi dan
dikloning ke dalam sel yang dapat tumbuh dalam sebuah tangki sehingga protein antibodi yang dihasilkan dari DNA dari gen
kloning dapat dipanen secara massal.
Tidak semua metode untuk menurunkan antibodi dimaksudkan
untuk terapi manusia memerlukan langkah humanisasi (misalnya tampilan fag ) tetapi pada dasarnya semua tergantung pada teknik yang
sama memungkinkan "sisipan" bagian dari molekul antibodi.
3. Fully
Human Monoclonal Antibodies
Antibodi ini
merupakan antibodi yang paling ideal untuk menghindari terjadinya respon imun
karena protein antibodi yang disuntikkan ke dalam tubuh seluruhnya merupakan
protein yang berasal dari manusia.
Salah satu
pendekatan yang dilakukan untuk merancang pembentukan antibodi monoklonal yang
seluruhnya mengandung protein manusia tersebut adalah dengan teknik rekayasa
genetika untuk menciptakan mencit transgenik yang membawa gen yang berasal dari
manusia, sehingga mampu memproduksi antibodi yang diinginkan. Pendekatan
lainnya adalah merekayasa suatu binatang transgenik yang dapat mensekresikan
antibodi manusia dalam air susu yang dikeluarkan oleh binatang tersebut. Salah
satu contoh fully human monoclonal antibodies adalah Panitumumab.